Lima PKL Gondomanan menggelar aksi diam di depan Keraton Yogyakaarta, 11 November 2019. IDN Times/Pito Agustin Rudiana
Dengan dampingan LBH Yogyakarta dan sejumlah aktivis, Budiono, Sugiyadi, Agung, Suwarni, dan Sutinah berjalan kaki dari kiosnya menuju ke alun-alun utara. Membelah di antara dua beringin kembar dan duduk menghadap Pangelaran yang berbatasan dengan Sitihinggil, tempat raja duduk bertahta. Aksi tapa pepe mereka pilih. Sebuah ritual kawula alit untuk mengadu atas persoalan yang menimpa kepada rajanya.
“Tapa pepe kan bentuk sikap berserah diri para PKL ini. Meminta kebijakan Sultan HB X untuk turun tangan menyelesaikan persoalan mereka,” kata Budi Hermawan.
Apalagi, lanjut Budi, persoalan yang menimpa kelima PKL itu adalah buah dari kebijakan raja. Mengingat raja sebagai pihak yang berwenang atas penguasaan tanah-tanah kerajaan.
“Dan kekancingan diberikan tanpa cek lapangan sehingga memunculkan konflik horisontal soal batas,” kata Budi.
Suara-suara hati kelima kawula alit itu pun ditunjukkan dari tuntutan-tuntutan yang mereka usung lewat kertas lebar bertuliskan tangan.
“Sultan, besok kami digusur. Yang gusur kami, pengusaha ekonomi kuat. Yang gusur kami langgar kesepakatan 13 Februari 2013” demikian salah satu bunyi poster mereka.
Tulisan poster lainnya mengingatkan Sultan HB X atas janjinya sebelum dinobatkan menjadi raja di hadapan ayahnya, Sultan HB IX pada 1988.
“Emut janji marang Kanjeng Romo (HB IX) (ingat janji terhadap ayahanda). Janji 1988, mukti bareng rakyat (janji yang diucapkan pada 1988 untuk hidup bermanfaat untuk rakyat)” demikian salah satu bunyi poster.
Pada tahun itu, HB IX bertanya kepada HB X yang masih bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi. Ingin hidup mulia atau mukti. Dan Mangkubumi menjawab: saya tidak mengerti, tetapi saya menjawab mukti. Kalau mulia, belum tentu keberadaan saya memberi manfaat kepada orang lain. Kalau saya mukti, mungkin saya tidak kaya. Tetapi pikiran dan tenaga saya bisa bermanfaat untuk orang lain”.
Dan apa keinginan PKL Gondomanan?
“Ingin tetap bisa menempati. Kan sudah ada kesepakatan. Apalagi kami sudah menempati sejak 1980,” kata Budiono.
Selepas dari alun-alun utara, mereka pun melanjutkan pengaduan ke makam HB IX di Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul.