Yogyakarta, IDN Times — Salah satu hak difabel tercantum dalam Pasal 24 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention of Rights on Persons with Disabilities/UNCRPD) yang telah diratifikasi Indonesia pada 2011, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Hak tersebut juga diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Daerah DI Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
“Undang-undangnya belum mengatur detail. Sedangkan perdanya belum ada aturan pelaksananya,” kata Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA), Nurul Saadah Indriani saat ditemui IDN Times di Kantor SAPDA, Yogyakarta, 27 September 2019.
Sementara berdasarkan data Dinas Sosial DIY pada 2012 yang dikutip dari Laporan Base Line Survey tentang Pemahaman atas Hak Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja dengan Disabilitas di Indonesia menyebutkan sebanyak 24.633 difabel di DIY membutuhkan informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual.
Persoalannya, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang diberikan di sekolah luar biasa (SLB) terbatas materi dan gurunya. Dan tak semua difabel pernah atau sedang mengenyam pendidikan di bangku SLB. Artinya, tidak semua difabel mempunyai pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Pengetahuan yang diharapkan didapatkan dari keluarga dan lingkungan sosial terkendala stigmatisasi dan budaya tabu yang masih berlaku.
“Padahal difabel menjadi target kekerasan seksual dan perilaku seksual yang tidak aman,” kata Nurul.
Kondisi tersebut, menurut Koordinator Divisi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi SAPDA, Rini Rindawati, menunjukkan adanya pelanggaran hak difabel untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Lantas persoalan apa saja yang rentan dipahami anak dan perempuan berkebutuhan khusus yang kurang atau tidak mendapatkan pengetahuan tentang kespro dengan tepat dan benar?