Pilpres Bikin Bangsa Indonesia Terbelah, Buya Merasa Prihatin
Sleman, IDN Times - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif menyebut Bangsa Indonesia kini tengah menjadi korban atas situasi perpolitikan yang ada. Efek dari berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) selama dua periode terakhir Bangsa Indonesia terbelah menjadi dua kubu.
Buya menyebut situasi tersebut adalah gambaran kondisi bangsa yang tak lagi sehat. Bahkan menimbulkan kekhawatiran tersendiri akan adanya gerakan atau riak-riak pemisahan.
1. Sikap purnawirawan terbelah

Menurut Buya, situasi di lapangan jelas menunjukkan bahwa Pilpres 2014 dan 2019 kemarin telah membuat warga biasa terpetak-petak. Bahkan saking panasnya pemilihan presiden kemarin, memecah kekeluargaan purnawirawan TNI.
"Sebagian, saya nggak tahu berapa jumlahnya, purnawirawan juga terbelah ya. Sipil sudah terbelah. Mudah-mudahan yang masih efektif, yang masih dinas, tidak terbelah. Tetap setia kepada sapta marga dan janji-janjinya," kata Buya saat dijumpai di sekitar kediamannya di Gamping, Sleman, Selasa (4/6).
"Purnawirawan itu kan sebenarnya bukan tentara lagi, tapi sipil. Tapi kan mereka dibentuk sekian puluh tahun. Mereka pasti punya jaringan. Kita harus berhati-hati dan menumbuhkan kesadaran nasionalisme, patriotisme kita. Kalau tidak negara kita bisa macam-macam (keadaannya)," katanya lagi.
Meski menurut informasi yang diterima Buya dari Lemhanas jika jumlah purnawirawan yang terlibat politik praktis ini tak banyak, tapi baginya, tetap ada baiknya jika kondisi ini perlu segera direkonsiliasi.
"Tapi kan (purnawirawan) ada di kedua belah pihak. Di 01 dan 02 ada. Itu kan seperti mereka saling berhadapan. Oleh karena itu persatuan purnawirawan angkatan darat saya rasa harus turun tangan. Dipanggil, diajak bicara baik-baik supaya fenomena yang tidak baik ini bisa diatasi secepatnya," harapnya.
2. Kekhawatiran 'gunung es' referendum
Ditakutkan kemudian dari situasi yang terus menerus membelah nasionalisme ini adalah munculnya isu referendum. Seperti yang sudah disuarakan di beberapa wilayah di Indonesia.
"Di Aceh, Sumatera Barat, ini mungkin baru riak-riak kecil ya. Tapi kalau ini merupakan puncak dari sebuah gunung es, itu berbahaya sekali. Itu harus cepat diantisipasi. Tebas pada kuncupnya. Bukan dengan kekerasan, tapi penyadaran," tegasnya.
Sebelumnya Ketua Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA PA) Muzakir Manaf alias Mualem mewacanakan dilaksanakannya referendum atau hak menentukan nasib sendiri di Aceh.
Wacana yang viral di media sosial itu diduga sejumlah pihak terkait dengan konsekuensi dari polarisasi politik akibat Pilpres 2019. Meski, Muzakir pribadi hanya bicara mengenai ketidakjelasan soal keadilan dan demokrasi di Indoneasia serta ancaman kehancuran dari berbagai sisi.
"Baru ini di Payukumbuh itu aja, ada seorang dokter hewan yang membuat deklarasi Republik Andalas Raya. Itu sudah gila?" ujarnya setengah bertanya-tanya.
3. Tak butuh presiden yang pilih kasih

Sehingga, apapun yang melatarbelakangi sikap referendum itu, kata Buya, ini menjadi tugas dan kewajiban pemenang Pilpres 2019 nanti. Untuk merangkul seluruh masyarakat, tak pandang dari kubu mana mereka.
Ini vital agar usulan-usulan atau niatan ingin berdiri sendiri itu tidak terealisasi atau muncul kembali di kemudian hari.
"Siapa pun yang terpilih nanti, mereka bukan lagi presiden dari pendukungnya. Tapi, presiden dari rakyat Indonesia. Mendukung atau tak mendukung itu rakyat kita. Jangan ada pilih kasih. Memang keadaannya rentan sekali," pungkasnya.

















