Menurut Sultan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah berupaya menjadikan pendidikan lebih bermakna bagi individu.
Tapi, karena pesatnya perubahan dan kelemahan guru dalam menyisipkan pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran, belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif.
Apalagi di satu sisi, sekolah terlampau fokus mengejar target akademik, khususnya agar lulus ujian nasional (UN). Efeknya, implementasi pendidikan karakter tidak bisa berjalan maksimal karena aspek kecakapan hidup non akademik yang jadi unsur pendidikan karakter tersisihkan.
"Pendidikan Karakter perlu direformulasi dan direoperasionalkan melalui transformasi budaya dan kehidupan satuan pendidikan," ungkapnya.
Dalam upayanya memperkuat pendidikan karakter, Sultan menilai, dibutuhkan pendayagunaan budaya-budaya etnik, yang turut bisa menguatkan semangat Ke-Indonesiaan. Salah satu cara yang diusulkannya, adalah dengan melibatkan para pimpinan informal etnik melalui dialog budaya antar etnik.
Semisal, tiap kelompok budaya bisa saling menyapa, mengenal, memberi dan menerima. "Dari sistem nilai Jawa, etnik Bugis bisa mendewasakan prinsip siri', agar tidak terkungkung sempit pada masalah kekeluargaan, tapi hendaknya disublimasi ke arah yang menjangkau persoalan-persoalan besar bangsa," katanya mencontohkan.